Saya kemudian bangun, membuka jendela… dan mengucapkan, “Selamat pagi Sindangbarang!”
Sindangbarang merupakan sebuah desa yang terletak di Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Di tempat ini, setiap tahunnya diadakan acara adat Serentaun, pesta panen raya masyarakat Sunda Ladang. Acara ini dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang mereka peroleh.
Serentaun sudah berlangsung sejak jaman kerajaan Pajajaran. Acara yang juga dimaksudkan sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda ini sempat berhenti selama 36 tahun, sebelum akhirnya dihidupkan kembali oleh masyarakat Sindangbarang dan dijadikan sebagai agenda tahunan.
Setiap tahunnya, pada bulan Muharam, selama 7 hari berturut-turut, berbagai ritual dan penampilan kesenian traditional diselenggarakan dalam acara Serentaun. Acara yang dimaksudkan untuk ngauri-uri budaya leluhur itu diantaranya adalah nandur (menanam padi), angklung gubrag (penampilan kelompok angklung yang dimainkan oleh wanita setempat), ngalalauk (lomba menangkap ikan di sungai), dan tentu saja ziarah leluhur.
Pagi itu, warga berkumpul di depan rumah ketua adat dengan membawa berbagai persembahan. Sambil menabuh alat musik traditional, warga kemudian berjalan menyusuri ladang dan area persawahan menuju ke makam leluhur yang letaknya tak jauh dari desa. Warga berpindah dari satu pemakaman menuju pemakaman lainnya dalam iring-iringan kelompok, nyaris seperti karnaval namun dalam keheningan yang berbeda.
Agak siang, warga membagi diri menjadi dua kelompok untuk berziarah ke makam yang letaknya lebih jauh. Saya memilih bergabung dengan kelompok pertama, karena menurut warga, letak makam ini lebih dekat dibandingkan makam yang dituju oleh kelompok kedua.
Belum sempat saya menanyakan hal tersebut kepada warga, di hadapan saya sudah terhampar semak belukar dengan pohon-pohon tinggi menjulang. Glek, saya menelan ludah, lalu mengeringkan keringat di pelipis mata. Hutan tropis dan jalan setapak seakan mengucapkan salam pada saya, “Selamat datang di Gunung Salak!”
Ini pertama kalinya saya mendaki gunung. Saya merasa tertipu. Seharusnya saya tahu lebih awal, ketika mereka bilang dekat bukan berarti tak berat. Muka saya memerah, menahan letih tak terkira.
Bersama warga, kami bersujud. Di hadapan kami terlihat segumpal tanah yang dipercaya sebagai makam leluhur. Makam ini dikelilingi pohon-pohon yang tinggi menjulang. Saya menengadah. Hujan turun membasahi tanah. Tanah yang dipercaya sebagai leluhur, nenek moyang, asal muasal warga Sindangbarang.
Di antara derai hujan yang turun membasahi tanah, saya merasakan kehadiran leluhur seperti ingin menyapa kami, anak-cucu-nya yang berjuang mendaki gunung demi bertemu dengannya.
Saya langsung menyesali keluhan-keluhan yang tadi saya lontarkan. Letih tak sebanding dengan keagungan ini. Ah, betapa kita, manusia, seringkali alfa dalam mensyukuri nikmat yang diberikan alam. Bersama warga Sindangbarang, Bogor, saya belajar makna sebuah kehidupan. Kehidupan sejatinya adalah perjuangan yang tak pernah usai untuk sampai pada akhir yang dinanti.
(DPN, 2013)
Ps: Tulisan ini pernah dimuat dalam http://www.greensands.info/ dalam versi yang lebih pendek untuk keperluan lomba.
mantapp…. kenapa akhirnya lu niat melengkapi ini? keknya sudah pernah gw baca sejak zaman multply deh.. ini yang pergi bareng Ferry Latief itu kan?
dulu nggak ada tulisannya cuy.